Bandung, 13 November 2009
Seorang teman mempunyai kenalan di negeri Panser Jerman. Dalam percakapannya baru-baru ini, dia menanyakan tentang kondisi sosial terutama masalah kesehatan. Jerman yang kita kenal sebagai negara maju ternyata mempunyai sistem jaminan sosial yang sangat bergantung dari kontribusi warga negaranya. Bukan dari sumbangan pajak yang kita perkirakan, tetapi dari iuran bulanan. Iuran yang masuk ke asuransi kesehatan, asuransi sosial, asuransi pensiun dan asuransi kecelakaan. Jadi setiap warga Negara membayar banyak iuran ke Negara.
Perlu diperhatikan, bahwa semua warga wajib membayar asuransi tersebut. Ini diluar pajak tentunya. Di Jerman, semua pekerjaan yang menghasilkan uang disebut sektor formal. Mau pemain bola, petani, pensiunan, nelayan, bahkan tukang sampah sekalipun oleh Negara diwajibkan membayar iuran asuransi tersebut. Sampai-sampai misalnya, petani yang memiliki lahan sendiri kontrak berapa dia harus membayar iurannya didatangi langsung oleh petugas khusus. Si Petani ditanya, “Kamu penghasilannya berapa?” terus dia jawab sekian. Maka dia harus membayar sekian kepada petugas tersebut. Sangat sistemik memang, dan bohong besar kalau di Jerman semua serba gratis.
Welfare State?
Lantas bagaimana dengan konsep sistem welfare state? Dari informasi diatas sepertinya penerapan di Jerman sangat berbeda. Padahal mereka menyebut sebagai Negara welfare state juga. Tapi ternyata yang agak berbeda dengan Indonesia adalah sistem pembiayaannya. Welfare state mereka dibuat dengan latar belakang ancaman sosialisme dan komunisme.
Jerman membuat sistem seperti ini karena takut akan sosialisme dan komunisme. Tetapi, dengan alasan solidaritas mereka membiayai welfare state dari kontribusi warganya. Terus, kenapa pembiayaannya tidak dari sektor pajak saja? Pajak itu harus bersaing dengan sektor-sektor yang lain, sehingga dananya tidak stabil. Negara tidak mau terlalu banyak turut campur. Sektor pelayanan dasar jadinya diperlakukan terpisah. Dana hasil iuran tersebut dikumpulkan pada lembaga yang independen, mandiri dan self administrated. Pemerintah cuma mengawasi organisasi itu saja.
Sektor Pendidikan
Sumbangan Negara untuk sektor pendidikan tidak terlalu banyak. Kalau dulu pendidikan bisa gratis tapi sekarang harus bayar. Sistem subsidi untuk kelompok masyarakat miskin sangat sulit. Kalau ada yang mengaku miskin, maka harus benar-benar menyatakan miskin. Teknisnya, si petugas sosial melakukan investigasi. Kalau masih mempunyai kendaraan, ya disuruh jual. Kalau masih punya rumah, juga sama disuruh jual lagi. Nah, baru kalau semua sudah habis dikasih uang. Sangat berbeda dengan di Indonesia. Subsidi berupa Bantuan Langsung Tunai (BLT) tidak jarang diberikan kepada orang yang memiliki kendaraan.
Untuk membantu warga negaranya, Jerman memiliki sistem yang disebut mini job. Kantor tenaga kerja mempunyai program khusus untuk memberikan lapangan pekerjaan, seperti jadi tukang sapu atau cleaning service di gedung-gedung. Semua sudah diatur. Bahkan kalau ada orang cacat yang mau membuat lukisan, Negara yang siap membeli lukisannya. Jadi lapangan kerja sangat terbuka lebar.
Lantas apa alasan Bismark membuat sistem jaminan sosial seperti ini? Menurut kenalannya itu, dia mendengar dari Prof Universitas Heidelberg alasannya bukan karena fungsi Negara, tetapi supaya tetap melanggengkan kapitalisme. Di Jerman, orang yang sangat kaya malah dibebaskan dari membayar jaminan sosial. Kenapa? Karena para kapitalis yang gajinya diatas 47.000 Euro/tahun bebas dari membayar, karena mereka membayar asuransi kesehatan privat yang tentu saja lebih eksklusif. Apa karena tidak mengkonsumsi pelayanan sosial? Tentu ini sangat melenceng dari prinsip solidaritas. Mereka dianggap mampu tapi jadinya Negara tidak mampu/tidak ingin mengendalikan mereka. Tapi kita pun harus ingat, ini Negara kapitalis bung! []
Thanks, semoga bermanfaat.
Wassalam.
.