Jakarta-Bandung, 13 Desember 2009
Refleksi Negara: Perjalanan Menuju Indonesia Baru
Oleh: Ramlan Nugraha
Ketua Departemen Kebijakan Publik KAMMI Jawa Barat
Peserta ASEAN People's Forum
Akhir tahun 2009, gejolak reformasi seolah mendapatkan energi baru di republik ini. Entah murni atau tidak, arus pemberantasan korupsi pasca kasus yang menimpa para petinggi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seperti bangkit kembali. Kita terhenyak, ketika respon masyarakat menanggapi kasus ini besar sekali. Hampir di setiap daerah, pemberitaan tentang dukungan kepada Bibit-Candra mengalir begitu deras. Ada pertanyaan dibalik itu, apakah ini babak baru perjalanan pemberantasan korupsi di Indonesia? Atau ini hanya sekedar bagian dari sandiwara yang dimainkan oleh para mafia politik ? Tanpa panjang lebar, saya hanya ingin mengatakan bahwa bangsa ini semakin dewasa untuk menghadapi derasnya segala macam persoalan kenegaraan.
Pemberantasan korupsi menjadi isu sentral bangsa ini. Dapat dipahami memang, urat nadi kehidupan bangsa bukan terletak pada berapa besar pendapatan perkapitanya, tetapi pada moralitas warga negaranya terutama para pemimpinnya. Gebrakan 100 hari Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono tentang komitmen Ganyang Mafia (GM) menjadi program utama Kabinet Indonesia Bersatu II. Tetapi dalam perjalanannya, komitmen tersebut seakan lips service pemerintahan baru saja. Implementasinya hanya sebatas retorika, tanpa perubahan yang signifikan. Tidak ada gebrakan baru yang diciptakan.
Para koruptor masih bebas bergentayangan, aparat penegak hukum malah sibuk dengan urusannya masing-masing, saling tuduh-menuduh, seakan kitalah yang merasa benar dalam menegakkan kebenaran. Di luar itu, para koruptor tertawa terbahak-bahak menyaksikan dagelan politik yang mereka buat berhasil mengadu domba pemainnya.
Di sisi lain, kita masih berharap para pelopor gerakan bersih di negeri ini terus menyolidkan diri dalam berbagai bentukkerja sama. Salah satu kelemahan pengusung reformasi adalah kurangnya konsolidasi yang dibangun. Maka dengan ini, sudah seharusnya kita terus membangun kekuatan konsolidasi. Jangan terpengaruh dengan isu individualisme gerakan, prasangka-prasangka tidak berdasar yang pada hakikatnya memecah belah kaum reformis. Tekad kita, perjalanan reformasi yang berjalan 11 tahun ini harus berupaya untuk membangun Indonesia baru, dikomandoi oleh orang-orang yang berjuang untuk kemajuan bangsanya, bukan urusan perut dan golongannya masing-masing. Konsolidasi para pengusung reformis menjadi tema besar untuk setiap kerja-kerja yang dilakukan.
Perubahan menuju Indonesia baru juga harus diawali dengan cepatnya respon birokrat yang menjadi tulang punggung pemerintahan. Kecepatan ini tentu menyangkut dua hal, pertama struktur dan kelembagaan birokrasi (hardware) dan kedua, sistem birokrasi yang menciptakan standar kualitas pelayanan (software). Kerangka yang mendasari ini salah satunya adalah Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Publik harus bersyukur, karena salah satu materi penting dalam UU ini adalah akses masyarakat terhadap pelayanan publik dengan memperkuat lembaga Ombudsman sebagai salah satu lembaga negara yang mempunyai wewenang mengawasi pelayanan publik. Selain itu, adanya saluran masyarakat untuk menyampaikan pengaduan apabila terdapat pelanggaran-pelanggaran dalam pelayanan publik. ini merupakan acuan kontrol yang bisa dilakukan oleh masyarakat. Selain daripada kita mesti bangga ketika akhirnya di setiap daerah Komisi Informasi Daerah (KID) harus terbentuk selambat-lambatnya 2010.
Kedua hal diatas mengarahkan begitu pentingnya peran masyarakat. Kerja kolektif organisasi adalah bagaimana menciptakan kondisi atau sarana agar partisipasi publik dalam mengawasi jalannya pemerintahan semakin meningkat. Prinsip yang harus dilaksanakan sesuai dengan pencapaian good governance pada lingkup pemerintah diantaranya adalah prinsip transparancy pengambilan keputusan
atas kebijakan publik yang terbuka kepada masyarakat. Hal ini bertujuan agar mekanisme kontrol dalam pembuatan keputusan public dapat secara accountable dipertanggungjawabkan di hadapan publik.
Korupsi: Ancaman Stabilitas Nasional
UN Convention Against Corruption 2003 menjelaskan bahwa dampak korupsi yaitu ancaman bagi keamanan dan kestabilan masyarakat (threat to the stability and security of societies); merusak nilai-nilai dan lembaga demokrasi (undermining the institutions and values of democracy); merusak nilai-nilai moral dan keadilan (undermining ethical values and justice); membahayakan pembangunan berkelanjutan dan rule of law (jeopardizing sustainable development and the rule of law) dan mengancam stabilitas politik (threaten the political stability).
Semua hal diatas sudah sangat diketahui oleh masyarakat umum. perkembangan media turut serta dalam membangun isu pemberantasan korupsi. Di tingkat internasional, lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan World Bank pada 17 September 2007 pernah mengumumkan nama-nama mantan pemimpin negara yang berkualifikasi top-hat crimes (kejahatan tingkat atas). Nama-nama tersebut yaitu Ferdinand Marcos, Slobodan Melosevic, Soeharto, Mobutu Sese Seko, Jean Claude Duvalier, Sani Abacha, Alberto Fujimori, Pavlo Lazarenko, Arnoldo Aleman, dan Joseph Estrada. Pengumuman tersebut dilampiri dengan daftar prakarsa penemuan kembali kekayaan yang dicuri (stollen asset recovery = StAR Initiative). Hal ini setidaknya membuktikan bahwa lembaga internasional sangat menaruh perhatian besar terhadap pemberantasan korupsi di dunia. Tetapi sayang, kadang muatan politik lebih besar daripada hal ini. Di Indonesia misalnya, pada musim kampanye sosok Soeharto dianggap pahlawan bangsa oleh sebuah parpol tertentu. Entah apa maksudnya, publik dibuat tidak mengerti. Strategi kampanye yang dibuat tidak merujuk pada bahasa psikologi massa, tetapi hanya berorientasi pada bahasa politik elit.
Tuntutan bahwa pemberantasan korupsi harus zero tolerance belum menyentuh pada aspek implementasi. tuntutan kesadaran korupsi harus diakui belum menyentuh pada aspek fundamental. Hal ini dibuktikan dengan beberapa kasus yang terjadi saat ini. Kasus BLBI yang merugikan negara ratusan triliun sampai saat ini tenggelam dan digantikan oleh kasus Bank Century yang nilai kerugiaannya 6,7 triliun. Political will masih tebang pilih, tergantung momentum.
Kondisi daerah memungkinkan terjadinya korupsi lebih banyak. Mengutip pendapatnya Thobaben, "it's, in fact sometimes favors, honoraria, and campaign contribution". Memang betul, faktanya seringkali sulit membedakan dengan jelas antara suap, pemberian hadiah, honorarium, sumbangan kampanye, dan sejenisnya. Fenomena seperti ini kadang menjadi hal yang lumrah di beberapa daerah. Pengawasan masyarakat yang kurang, menyebabkan hal seperti ini menjadi budaya dalam tubuh birokrasi.
Di akhir tahun ini semoga bukan hanya refleksi yang kita tulis, tetapi catatan tentang komitmen perubahan yang harus kita laksanakan pada tahun berikutnya. Teringat ketika Ahmadinejad diwawancarai EU waktu di New York beberapa waktu lalu, bukan masalah ketika para pemimpin dunia bersepakat untuk menciptakan system ekonomi yang berkelanjutan dan berkeseimbangan, tetapi sebelum masuk pada ranah itu, lihatlah lebih nyata tentang proses kapitalisme yang masih merajalela. Selesaikan dulu system yang mengobrak-abrik tatanan masyarakat ini, setelah itu baru kita bicara tentang sistem yang berkelanjutan.
Begitu juga dengan kita, jangan-jangan ide dan harapan kita terlalu melangit, sementara masalah yang kita hadapi mungkin sudah ke permukaan laut. Tetap lihat kenyataan, berkata sesuai fakta yang terjadi sekarang, bukan masa lalu yang mungkin sudah berubah[]
Wallahu’alam bishshawab.