Tuesday, May 19, 2009

Layakkah JK, Megawati dan SBY Menjadi Presiden ?

Oleh : Ramlan Nugraha
Ketua Departemen Kebijakan Publik
KAMMI Wilayah Jawa Barat Periode 2008-2010



Kata Pengantar


Pada awalnya, judul tulisan diatas adalah “Mengapa kami menolak JK, Megawati dan SBY ?”. Hal tersebut didasarkan atas adanya hasrat dari penulis sebagai bagian dari gerakan mahasiswa yang mempunyai sebuah argumentasi penolakan dalam perspektif ilmiah dan realistis dalam memandang kondisi politik hari ini yaitu Pemilihan Presiden (Pilpres) 2009.

Tetapi pada akhirnya, penulis meyakini bahwa judul tersebut akan menimbulkan ketidakseimbangan pemunculan pemikiran personal, karena lebih mengedepankan pendapat penulis sendiri. Kesan pasif mungkin akan lebih dominan apabila judul tulisan ini seperti semula, tidak mengalami perubahan seperti halnya sekarang. Penulis tidak begitu faham tentang istilah jurnalistiknya, tetapi dalam bahasa penulis, kami berharap ada “dua sisi” cara pandang ketika memahami isi tulisan ini. Tidak hanya “satu sisi” saja, yaitu dari sudut penulis. Intinya, ada sebuah ruang dimana tulisan ini memunculkan nalar dialogis personal (dialog monologis) bagi siapapun yang membacanya.

Setiap ide dan gagasan yang didalamnya tersirat secuil kebaikan pun tidak lepas dari berbagai lontaran baik yang bersifat membangun ataupun pedas tanpa makna. Kita berharap bahwa di dalam gerakan ini setiap ide dan gagasan bukanlah sebuah tabu ataupun “pelit” untuk dibagikan, tapi hal yang sangat biasa untuk didiskusikan. Bukankah mulai dari hal ini, harapan besar untuk membangun ummat bisa tercapai ? tentu sekali lagi bukan yang pedas tanpa makna.


Menakar Kualitas Partai Politik


Menakar kualitas produk berupa kebijakan yang dikeluarkan oleh partai politik adalah hak setiap warga negara, tidak terkecuali gerakan mahasiswa. Malah dalam hal ini gerakan mahasiswa mempunyai fungsi controlling dan pengawasan yang lebih independen dan “menggigit” dibandingkan dengan lingkup perseorangan. Posisinya yang netral diimbangi dengan kekuatan intelektual menjadi alasan awal kenapa suara gerakan mahasiswa sangat diperhatikan. Tetapi alangkah sayangnya, jika kepercayaan yang diberikan ini terdegradasi hanya diakibatkan oleh segelintir oknum yang sebenarnya dia adalah biang kerok penyebab kehancuran dari sebuah gerakan.

Salah satu kebijakan partai politik menghadapi Pemilihan Presiden (Pilpres) Juli mendatang adalah terkait dengan koalisi dan pencalonan calon presiden. Peta partai politik hari ini sudah bisa kita lihat dengan indikator mereka bergabung dengan koalisi mana ? Apakah koalisi JK-Win, Mega-Pro Rakyat ataukah SBY Berbudi Luhur ? Landasan koalisi yang mereka jelaskan kepada publik adalah persamaan platform, adanya visi yang sama dalam membangun bangsa lima tahun ke depan. Walaupun pada kenyataannya, sudah bukan rahasia umum lagi bahwa koalisi yang dibangun hanya berdasarkan bagi-bagi kekuasaan. Apa buktinya ?

Pertama, partai politik tidak secara jelas dan detail memberitahukan kepada publik bahkan mungkin para konstituennya tentang apa landasan/dasar mereka bergabung dengan sebuah koalisi ataupun mendukung Capres dan Cawapres tertentu, kedua, Interpretasi komunikasi politik yang dilakukan parpol hanya tertuju pada peningkatan daya tawar agar si calon yang diusung sebuah parpol –misal- menjadi Cawapres si X, ketiga, pengakuan beberapa elit pengurus partai politik yang sedang ditimpa konflik internal mengakui bahwa proses politik yang terjadi hanya dilandasi semangat mencari jabatan saja, keempat, penilaian publik tentang nilai-nilai moralitas awal yang diusung oleh sebuah parpol pada akhirnya nilai-nilai tersebut habis tergerus dengan alasan melihat kondisi realita-empiris keadaan.

Koalisi yang dibangun sangat memperlihatkan betapa ideologi parpol tidak dijadikan syarat utama untuk menjadi landasan dalam berkoalisi. Partai dengan ideologi berbeda hari ini bisa bersatu dan menyatakan kesiapannya untuk bulat dalam satu barisan. Semisal, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang notabene mempunyai garis perjuangan menegakkan Islam duduk bersama dengan Partai Damai Sejahtera (PDS) yang selama ini mempunyai rel perjuangan yang berbeda. Lupakah para elit parpol Islam tentang firman Allah SWT :

‘Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah : Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar). Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu. (Al-Baqarah : 120)

Koalisi yang mengagungkan isu kebangsaan dengan alasan pluralitas dalam keberagaman bangsa, pada akhirnya hanya akan terperosok pada lubang kehancuran. Karena pada hakikatnya, faktor ideologilah yang menjadi pembeda antara kebenaran dan kebathilan. Karena ideologilah, parpol Islam seharusnya lantang untuk memperjuangkan dan menegakkan Islam. Bukan sebaliknya, mencari beribu alasan untuk menunjukkan bahwa dirinya bertindak di jalan kebenaran. Mereka mencoba mencitrakan kebenaran, tapi pada dasarnya hanya kebodohanlah yang mereka pertahankan.

Sejalan dengan itu, pencalonan JK, Megawati dan SBY sebagai Calon Presiden merupakan kebijakan signifikan yang dikeluarkan oleh setiap parpol pengusungnya. Secara sadar semua parpol membawa arah bangsa ini ke arah gerontokrasi kepemimpinan. Gerontokrasi adalah pemerintahan yang dijalankan oleh orang-orang tua. Ini bukti bahwa semua parpol tidak mempunyai itikad untuk mewujudkan regenerasi kepemimpinan nasional. Pertanyaan berikutnya adalah apakah perlu kita selaku gerakan mahasiswa melakukan rekonsiliasi dengan mereka, parpol para pengusung gerontokrasi, yang memacetkan negeri ini dalam mewujudkan regenerasi kepemimpinan nasional yang lebih baik ?

Ini penilaian objektif kita terhadap parpol bung ! bukan sekedar tolak-menolak lantas diam begitu saja. Akan sangat kerdil kalau kita hanya berpendapat bahwa gerakan mahasiswa bisanya hanya sekedar menolak semua capres lantas tidak ada solusi untuk bangsa. Ironi, sungguh pemikiran yang salah kaprah.

Pada akhirnya, tolong jujur Anda katakan bila disodorkan sebuah pertanyaan, “Layakkah JK, Megawati dan SBY Menjadi Presiden ? Apa jawaban Anda ?


Fungsi GM : Controlling dan Pengawasan


Fungsi ini merupakan salah satu indikator, yang bisa menunjukkan apakah gerakan mahasiswa masih hidup atau mati ? Sebagai salah satu bagian dari sektor ketiga, gerakan mahasiswa ambil bagian dalam aspek penyeimbang, untuk mewujudkan kondisi pemerintahan yang baik (good governance).

Oleh karena itu, sikap yang dikeluarkan oleh gerakan mahasiswa secara eksplisit menunjukkan tekad dan keinginannya dalam membangun pemerintahan yang baik melalui fungsi controlling dan pengawasannya. Fungsi ini sekali lagi, bisa dilakukan dengan penilaian kita terhadap kualitas produk berupa kebijakan yang dikeluarkan oleh setiap partai politik. Bagi pihak yang faham hal ini, tentu fungsi parpol sebagai wadah aspirasi rakyat, dan gerakan mahasiswa adalah salah satu bagian dari rakyat, maka suara yang diserukan oleh gerakan mahasiswa kepada partai politik seharusnya ditanggapi positif sebagai sebuah masukan yang membangun, baik itu kritik maupun saran. Artinya, jika para elit menggembor-gemborkan yang namanya wahana demokrasi, maka sikap yang dikeluarkan oleh gerakan mahasiswa baik itu berupa kritik maupun saran merupakan sebuah ajang dimana itu adalah proses membangun wahana demokrasi. Bukan sebaliknya, ditanggapi dengan negatif sambil memaki sana-sini.

Peran memberi peringatan (tadzkirah) kepada partai politik pun menjadi bagian dari urgensi sikap gerakan mahasiswa. Apabila pemerintahan tidak ada yang mengimbangi, maka rezim otoriter akan kembali menguasai negeri ini. Parpol harus diingatkan terkait dengan produk kebijakan yang mereka keluarkan, harus ada pembanding sebagai bagian dari proses intelektualitas bangsa ini.

Sikap gentle pun harus kita kedepankan ketika semua parpol mempunyai sikap yang berbeda dengan kita. begitu juga sebaliknya. Oleh karena itu, ketika parpol di Republik ini mengusung JK, Megawati dan SBY sebagai Capres yang akan maju nanti, maka kita selaku gerakan mahasiwa mempunyai penilaian sendiri terkait dengan hal ini. Sekali lagi, ini bukan soal tolak menolak bung ! tapi ini adalah bagian dari komitmen gerakan mahasiswa untuk jujur terhadap kondisi bangsanya sendiri. Dan bagi kami, masyarakat dan siapapun mesti tahu dengan sikap dan penilaian ini. Karena ini bagian daripada dakwah kami !!


Sikap KAMMI Jawa Barat


Hasil kajian Departemen Kebijakan Publik KAMMI Jawa Barat mengerucutkan opsi tentang sikap yang kami ambil pada 2 (dua) point. Pernyataan sikap tersebut telah kami sampaikan kepada publik, melalui media massa maupun cetak. Implikasi dari itu semua adalah kita mencoba menjalankan sebaik-baiknya fungsi gerakan mahasiswa sebagai controlling dan pengawas.

Efek dari hal ini tentu sangat banyak sekali. Contoh, secara implisit kami mengingatkan kepada semua partai politik untuk memihak kepada kepntingan rakyat dan konsisten dengan nilai-nilai moralitas yang diusungnya, tidak terjebak hanya sekedar bagi-bagi kekuasaan saja. Sikap ini juga setidaknya akan memberikan pengaruh kepada para konstituen parpol untuk menilai kualitas kebijakan yang dikeluarkan oleh parpolnya masing-masing. Dengan sikap ini kita pun mengajak kepada segenap masyarakat, khususnya di Jawa Barat untuk menilai proses yang dilakukan oleh semua parpol.

Salah satu penyampaian sikap yang dilakukan adalah melaksanakan demonstrasi pada Jum’at (15/5) kemarin, bertepatan dengan momentum deklarasi SBY-Boediono di Sabuga ITB, Bandung. Sebagai catatan, pemberitaan media dan beberapa pihak terkait dengan demonstrasi yang dilakukan oleh KAMMI Jawa Barat tersebut sangat terlihat janggal. Content yang diberitakan kepada publik terkesan mengarahkan bahwa sikap yang dikeluarkan oleh kami hanya terfokus pada Anti Neoliberalisme. Pemberitaan ini sangat tendensius sehingga opini yang beredar tertuju pada Boediono saja. Isu tentang Anti Neoliberalisme juga seakan memberikan keuntungan kepada pasangan JK-Win, karena isu ini hanya santer pada 2 (dua) pasangan saja, yaitu SBY-Boediono dan Megawati-Prabowo.

Padahal dalam kenyataannya, sejak awal KAMMI Jawa Barat menyatakan sikap, pertama, menolak dengan tegas semua calon presiden, yaitu JK, Megawati dan SBY karena mereka adalah pemimpin gagal, kedua, Kita juga mengecam semua partai politik karena tidak mempunyai etika politik yang baik dan mengkhianati suara rakyat. Etika politik ini didasarkan pada carut-marutnya proses koalisi yang hanya tertuju pada bagi-bagi kekuasaan saja. Oleh karena itu, isu neoliberalisme atau Anti-Boediono bukanlah isu utama yang kami sampaikan kepada masyarakat.

Pasca disampaikannya pernyataan sikap ini, pro dan kontra muncul bergantian. Beberapa diantaranya adalah, pertama, dilihat dari indikator publikasi. Misal, pada keesokan harinya surat kabar lokal terbesar di Jawa Barat dengan inisial depan “P” untuk kesekian kalinya tidak memberitakan satupun tentang demonstrasi ini. Padahal dari sudut timing dan content, aksi ini sangat tepat momentumnya dan cukup menggigit. Kedua, Tanpa ada kesan menggeneralisir, pasca penyampaian sikap yang dilakukan banyak pihak terutama dari kalangan partai politik yang mempertanyakan hal ini. Bahkan, salah seorang pengurus pusat sebuah parpol Islam langsung memberikan statementnya kepada saya lewat sebuah pesan pendek, “Lantas Ente maunya apa?”. Saya jawab, “Gerakan Mahasiswa berharap partai politik bisa memihak kepada rakyat, bukan mementingkan urusan perutnya sendiri. Salam.”. Di sisi lain, kami pun memberikan apresiasi yang tinggi kepada beberapa rekan media yang telah fair memberitakan sikap kami ini.


Alasan Penolakan


Beberapa alasan menjadi point awal kenapa kami menolak semua kandidat yang akan maju pada Pilpres Juli mendatang. Point-point tersebut sudah kami jelaskan lewat pernyataan sikap yang kami sampaikan. Hanya bermaksud untuk mengingatkan, point-point tersebut antara lain :

Fakta membuktikan bahwa para calon presiden yang akan maju pada Pemilihan Presiden (Pilpres) Juli mendatang yaitu Jusuf Kalla, Megawati dan SBY telah menunjukkan rekam jejak kegagalan mengemban amanah reformasi. Beberapa hal diantaranya :

1. Penjualan aset–aset strategis bangsa seperti Indosat, PT Garuda Indonesia, PTPN III, IV, VII, PT Krakatau Steel dan PT Bank Tabungan Negara;

2. Kasus pelanggaran HAM seperti kasus Munir ;

3. Keterlibatan dalam agenda pemiskinan rakyat yang menyebabkan negara ini pada 31 Januari 2009 mempunyai utang negara sampai Rp 1.667 triliun (data dari Dirjen Pengelolaan Utang Depkeu) ;

4. Selain itu, berbagai kasus fenomenal seperti lumpur Lapindo yang sampai saat ini belum juga memperlihatkan penanganan cukup berarti sehingga membuat rakyat semakin menderita ;

5. Intervensi asing pun sangat terlihat nyata pada masa kepemimpinan SBY-JK. Baru-baru ini, pada 2 Mei 2009 di Bali, Indonesia mendapat pinjaman program dari Asia Development Bank (ADB) senilai US$ 750 juta dan US$ 1 miliar sebagai pinjaman siaga. Dengan pinjaman ini, Indonesia dinyatakan sebagai salah satu pengguna dana terbesar dari ADB. Padahal, dibalik itu semua sudah bukan rahasia umum lagi bahwa keberadaan ADB dan lembaga keuangan internasional lainnya pada dasarnya hanya untuk menguasai dan mengendalikan negara berkembang seperti Indonesia. Hal Ini menunjukkan bahwa harkat dan martabat negara ini telah diobral untuk diobok–obok melalui kekuatan ekonomi asing.


Fatwa Ulama

Sebelum pemilihan legislatif (pileg) kemarin, negeri ini seakan gempar dengan fatwa yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat terkait dengan Memilih dalam Pemilihan Umum. Media pun kontan rame-rame membuat headline besar pada cover depannya tentang ‘MUI Keluarkan Fatwa Haram untuk Golput.”. Para elit parpol, tokoh masyarakat bahkan para mahasiswa hilir mudik memberikan komentarnya tentang hal ini. Terlepas dari benar atau tidaknya, sungguh sangat ironi bagi mereka –khususnya para akademisi- ketika banyak yang memberikan komentar tapi ternyata tidak mengetahui secara pasti isi dari fatwa MUI tersebut.

Pada dasarnya isi fatwa yang disahkan MUI dalam rapat Komisi Masail Asasiyah Wathaniyah di Padang Sumatera Barat beberapa bulan yang lalu terlihat ada perbedaan dengan pemberitaan yang dilakukan oleh media. Media sangat santer menyebutkan bahwa MUI mengeluarkan fatwa haram untuk golput (golongan putih/ tidak mau memilih), pemberitaan tersebut disampaikan tanpa menyampaikan butir-butir fatwa yang dikeluarkan oleh MUI.

Mari kita cermati kembali beberapa point krusial yang dikeluarkan MUI terkait dengan fatwa memilih dalam Pemilihan Umum, diantaranya :


• Butir ke-4 fatwa berbunyi :

“Memilih pemimpin yang beriman dan bertaqwa, jujur (shiddiq), terpercaya (amanah), aktif dan aspiratif (tabligh), mempunyai kemampuan (fathanah), dan memperjuangkan kepentingan umat Islam”.

• Butir ke-5 fatwa berbunyi :

“Memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat-syarat tadi hukumnya haram. Begitu juga jika kita tidak mau memilih padahal ada calon yang memenuhi syarat-syarat tadi, hukumnya haram”.

Ini artinya propaganda fatwa haram golput pada dasarnya tidak sepenuhnya mencerminkan dari isi fatwa yang dikeluarkan oleh MUI. Ini hanya permainan, tak-tik dari beberapa pihak yang ingin memecah belah umat Islam.

Atas dasar itu, terkait dengan para calon presiden yang akan maju dalam Pilpres nanti, apakah mereka adalah orang-orang yang termasuk dalam kriteria yang disebutkan pada butir ke-4 tadi ? Apakah kita yakin bahwa mereka, yang akan kita pilih nanti pada Pilpres mendatang adalah orang yang memiliki kemampuan dan mau untuk memperjuangkan dan menegakkan kepentingan umat Islam ?





Wallahu’alam bishshawab.

Bandung, 17 Mei 2009