Monday, May 4, 2009

Refleksi Hari Kebangkitan Nasional : Naasnya Taksonomi Pendidikan Kita Saat Ini

Oleh : Ramlan Nugraha
Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia
Ketua Dept. Kebijakan Publik KAMMI Wilayah Jawa Barat Periode 2008-2010



Ada keyakinan mendalam bahwa sesungguhnya terdapat harapan besar yang terpatri pada setiap dada kita, umat Islam. Entah sadar atau tidak, semangat kebangkitan terus menjadi pemacu kita untuk terus bergerak. Geliat perubahan yang terus diusung (terutama oleh para pemuda muslim) telah menjadi sorotan sebagian pihak –yang mengerti- sejak dulu hingga sekarang. Mereka mengerti bahwa di tangan pemuda, kran perubahan dan kebangkitan akan terwujud dengan nyata.

Begitu banyak hal yang harus dihadapi oleh seorang pemuda. Kalaulah Anda percaya pada konsep yang ditawarkan McLuhan tentang kondisi zaman kiwari, The Global Village (1964) maka Anda harus percaya tentang prinsipnya yang mengatakan bahwa “Hal yang menentukan kebudayaan ialah media yang mentransmisikan dan bukan isi”. Sehingga tak ayal, orang begitu mendewa-dewakan sebuah medium yang bernama teknologi transportasi dan komunikasi. Perguruan tinggi negeri dan swasta menjadi pihak yang sangat sibuk dalam hal ini, -tentang hal ini, jangan berpikir bahwa mereka lebih terfokus pada sebuah pencerahan teknologi kepada masyarakat- Kebanyakan diantara mereka sibuk dengan urusan perutnya masing-masing. Tak tanggung-tanggung pemuda Indonesia hanya dianggap sebagai pangsa pasar yang potensial. Gedung megah, fasilitas lengkap disertai dengan tetek bengek lainnya menjadi propaganda sesat menyesatkan beberapa perguruan tinggi di republik ini untuk merayu para calon mahasiswa baru. Padahal kenyataannya, Anda bisa tahu sendiri bagaimana kondisi hasil lulusannya.

Adalah hal yang biasa ketika sebagian pihak –termasuk mungkin dalam organisasi ini- menggembor-gemborkan tentang pentingnya communication skills. Tuntutan untuk bisa berbahasa asing, public speaking, nilai IPK diatas rata-rata, menjadi hal yang lumrah yang biasa disebut sebagai indikator intelektual. Saya –dan mungkin sedikit diantara Anda juga- yang mempunyai nilai TOEFL pas-pasan dengan nilai IPK tidak jauh dari angka rata-rata, -cut off score industri- mungkin dianggap kurang kompeten dalam bab ini. Tapi ada satu hal yang kudu menjadi perhatian bagi kita semuanya yaitu tentang paradigma kita terkait dengan taksonomi pendidikan yang menjadi salah satu entry point menuju puncak kebangkitan.


Taksonomi Bloom, Tabu atau Suci ?


Sebelumnya, ada baiknya kalau kita membaca buku “Meaningful Learning (Re-Invensi Kebermaknaan Pembelajaran), sebuah buku karya Drs. Abdurrahman, M.Ag (2007) terlebih dahulu. Buku ini berisi tentang spirit universal pendidikan dan konsepsi Islam untuk pendidikan bervisi “penyadaran” terbitan Pustaka Pelajar Yogyakarta. Mengutip tulisannya, “Pola pendidikan yang tak faham akan hakikat pendidikan dan kemanusiaan amat kuat berperan dalam membutakan manusia dan dirinya sendiri. Pendidikan tak ubahnya sebuah mesin cetak yang akan membuat lembar-lembar kertas yang siap ditulisi dengan berbagai ornament, tulisan, gambar dan kemudian diwarnai sedimikian rupa”.

Dalam dunia pendidikan, kita mungkin sudah tidak asing lagi dengan istilah apektif, kognitif dan psikomotorik. Ketiga ranah tersebut adalah karya monumentalnya seorang pakar pendidikan barat yang bernama Bloom. Ketiga ranah yang dinamakan taksonomi Bloom merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari dunia pendidikan, termasuk di Indonesia.

Dalam buku “Identifikasi Masalah Pendidikan Agama Islam di Indonesia”, A.W. Pratiknya (1991) berpendapat:

“Sudah menjadi pengetahuan umum, bahwa taksonomi dalam sistem pendidikan apa pun, memegang peranan yang sangat penting dalam keseluruhan proses pendidikan, sejak dari perencanaan, pengembangan kurikulum, implementasi dan evaluasinya. Sudah diketahui pula bahwa taksonomi Bloom yang menstrukturisasi perilaku manusia dalam tiga ranah yaitu kognitif, apektif dan psikomotorik, sudah merupakan ‘acuan/pedoman suci’ di dunia pendidikan kita, termasuk khasanah pendidikan Islam. Walaupun dalam paraktiknya para pendidik Islam menjumpai kesulitan (masuk ranah apakah iman ,ibadah, akhlak, dsb ?), tetapi mereka cenderung secara ‘membabi buta’ menggunakan taksonomi Bloom tersebut sebagai instrumen dalam proses pendidikan bagaikan sesuatu yang ‘tabu’ atau haram untuk dipersoalkan, apalagi diubah”.

Ranah capaian individu yang termaktub dalam sebuah kurikulum dapat dipastikan hanya melingkupi apektif, kognitif dan psikomotorik. Tak ayal, hampir semua kurikulum di lembaga pendidikan Islam atau kurikulum pengkaderan organisasi Islam cenderung mematok indikator kompetensinya hanya dari tiga ranah ini.


Ikhtisar


Dalam konteks kajian pemikiran dan peradaban Islam, konsep “Islamisasi Ilmu” bukan menjadi barang baru bagi para aktivis Muslim di Indonesia. Tetapi dalam lingkup kelembagaan formal, tema ini belum menjadi tagline besar dari para stakeholders di negara ini. Proses pembahasaan kepada publik masih menjadi tantangan.

Dibutuhkan seorang pemimpin yang tidak sekedar faham tetapi juga mempunyai political will yang kuat untuk dapat menggeser paradigma pendidikan kita saat ini. Kita berharap, sosok seperti Ahmad Heryawan, Lc (Gubernur Jawa Barat/ alumni LIPIA) dan Zainul Madji, M.A atau Tuan Guru Bajang (Gubernur NTB/ kandidat Doktor Universitas Al-Azhar Mesir) menjadi pelopor untuk mengusung ide besar ini dalam tingkat kelembagaan formal di wilayahnya masing-masing.

Begitu juga dengan semua elemen umat harus terus meningkatkan peranannya dalam hal ini. Disinilah seharusnya prinsip dakwah untuk saling tolong menolong atas apa-apa yang kita sepakati dan saling toleransi atas apa yang menjadi perbedaan (nata’aawanu fiimattafaqna wanatasaamahu fiimakhtalafnaa) harus menjadi pedoman kita bersama.


Wallahu’alam bishshawab.